ya ALLAH. abadikanlah kasih sayangnya, tunjukan jalannya dan penuhilah dengan cahya-Mu yang tak pernah redup, lapangkanlah dadanya dengan limpahan iman dan keindahan tawakal kepada-Mu, hidupkanlah dengan ma'rifah-Mu dan matikanlah dalam keadaan syahid di jalan-Mu. Sesungguhnya Engkau sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong.
Sabtu, 12 Mei 2012
Aiko Sakura: MYCERPEN
Aiko Sakura: MYCERPEN: Belajar menulis CERPEN RENCANA INDAH-NYA Gimana harus aku katakana padanya tentang semua rencana ayah ini nanti, apa aku sa...
Aiko Sakura: MYCERPEN
Aiko Sakura: MYCERPEN: Belajar menulis CERPEN RENCANA INDAH-NYA Gimana harus aku katakana padanya tentang semua rencana ayah ini nanti, apa aku sa...
Aiko Sakura: MYCERPEN
Aiko Sakura: MYCERPEN: Belajar menulis CERPEN RENCANA INDAH-NYA Gimana harus aku katakana padanya tentang semua rencana ayah ini nanti, apa aku sa...
Aiko Sakura: MYCERPEN
Aiko Sakura: MYCERPEN: Belajar menulis CERPEN RENCANA INDAH-NYA Gimana harus aku katakana padanya tentang semua rencana ayah ini nanti, apa aku sa...
MYCERPEN
Belajar menulis CERPEN
RENCANA INDAH-NYA
Gimana harus aku katakana padanya tentang semua rencana ayah ini nanti, apa aku sanggup sendirian, aku tak biasa.. siapa yang akan menolong ku nanti jika aku butuh apa-apa, terus siapa nanti yang akan membantunya melepas kelelahan ketika dia pulang kerja, ya Tuhan mana mungkin aku mampu tanpa dia, tapi apa lagi yang harus aku lakukan jika aku tak kuliah, haruskah aku memilih dia dari pada kuliah sedangkan pekerjaan dia pun belum pasti, dia tak berani menikahiku, bahkan dia bilang belum berfikir untuk menikah. Mungkin memang lebih baik aku kuliah, pergi keluar kota, aku ingin mencari kehidupan yang lebih baik supaya nanti rumah tangga ku dengannya bisa mapan.
Minggu siang, mas ramah nan sabar datang kerumah, aku sudah sangat merindukannya, seminggu sudah tak jumpa, dia sering kali datang membawakan makanan atau barang yang aku suka, dengan senyum manisnya ketika aku buka kan pintu, langsung aku cium tangannya tanda aku begitu menyayanginya dan menghormatinya, meski tak jarang aku dirumah hanya berdua dengannya, namun dia begitu menghormatiku, dia tak akan berani berbuat macam-macam, apa lagi membuatku menangis. Aku ingin sekali buatkan minuman special untuknya, namun dia selalu bilang, “dek, air putih lebih sehat kok..” begitu dia mengatakannya dengan senyum tipisnya yang selalu membuat ku tak bisa marah padanya, selalu membuatku menuruti apa yang dia mau, yaa.. dia memang mas ramah nan sabar-ku yang selalu aku rindukan meski dia baru selangkah saja keluar dari pintu rumah ku.
“ya sudah air putih, dasar mas ini memang aneh, nggak suka minuman segar..”
Senyumnya….. mambuatku tak mampu mengatakan rencana ayah-padanya, berat rasanya..
“dek, kenapa diam?”
Ya Tuhan… sampai kapan pun aku tak ingin dia melepaskan elusan tangannya dikepala ku, aku ingin terus bersamanya, aku tak mampu menahan air mata ku, dada ku terasa begitu sesak, mampukah aku meninggalkannya sendirian di desa, siapa nanti yang akan mengelus kepala ku seperti ini, siapa nanti yang akan dia hampiri setiap minggu ketika dari senin hingga sabtu dia lelah bekerja.
“lho, dek, kenapa menangis?.. mas salah apa?”
Aku tak mampu bicara, aku hanya ingin terus bersamanya, aku ingin selalu berasa dalam peluknya, aku tak perduli dengan kausnya yang basah karena air mataku, aku tak peduli dengan warna merah tangannya yang aku genggam dengan kuat karena aku tak mampu lagi menahan sesak dalam dadaku, ini begitu berat bagiku Tuhan..
“katakan sama mas, apa yang terjadi, dek?”
Matanya yang berbinar tepat berada didepan mataku, tangannya yang kasar dengan halus menyentuh pipiku, bibirnya yang kecil bergetar takut melihat ku menangis. Bagaimanapun caranya, aku harus mengatakan semuanya.
“mas, kata ayah, aku harus kuliah diluar kota”
Dengan cepat dia melepaskan tangannya yang tadi memegang pipiku, dia berbalik tak lagi memandang ku, dia menunduk, mungkinkah mas ramah sedang manangis.
“bukankah kota dekat sini juga ada kampus, kenapa harus ke luar kota, dek?”
“maafkan aku mas, ayah nggak mampu membiayai kuliah ku di kota ini, kampus di kota ini terlalu mahal bagi ayah”
“ya sudah kalo itu memang keputusan ayahmu, mas nggak bisa ngapa-ngapain lagi, pendapatan mas juga nggak cukup untuk membantumu kuliah, maafkan mas yang nggak berguna”
“ya nggak gitu mas…tapi mas nanti tiap minggu, siapa yang akan mijitin mas, becanda dengan mas untuk melepas lelah..”
“nggak usah khawatir dek, mas akan setia menunggu mu”
“benar, mas?”
Cukup dengan senyumnya, aku percaya bahwa dia tidak akan menghianati ku..
Lusa aku harus sudah mulai kuliah jadi besok aku harus berangkat keluar kota, rasanya tak ingin sama sekali berpisah dengan keluarga, dengan mas ramah, dan tetangga-tetangga yang selalu ramah terhadapku, apa nanti disana aku juga akan mendapatkan tetangga-tetangga yang baik seperti disini, nanti disana bagaimana aku harus cari makan, bagaimana jika aku bosan dirumah, apa mungkin nanti ada teman yang menemaniku jalan-jalan seperti mas ramah biasanya. Andai ayah tau, sebenarnya aku takut pergi jauh sendirian, apa mungkin ayah nggak pernah berfikir aku akan kenapa-kenapa disana dan tidak ada yang menolong ku, hmh… aku nggak mengerti jalan fikiran ayah.
“dek, apa dek Dewi nanti akan cari pacar baru setelah disana?”
“hmm.. mas nggak usah khawatir, bukannya mas sendiri sudah tahu bagaimana sifat ku”
“mas, itu busnya sudah datang”
Mas ramah nan sabar yang membawakan koperku, ayah dan ibu yang yang membawakan bekalku, oh Tuhan.. apakah diluar kota nanti aku akan bersama orang-orang baik seperti mereka. Aku tak mampu menahan air mataku, aku peluk ibu, ayah dan aku cium tangan mas ramah, Tuhan…. Sayangilah mereka, jagalah mereka ketika aku tak bersama mereka.
1 tahun sudah aku kuliah, Alhamdulillah aku menemukan banyak orang-orang luar biasa disini, mereka tak seperti apa yang aku takutkan dulu, mereka baik, mereka pintar, mereka siap membantu ku kapanpun, mereka siap mendengar apapun yang ingin aku katakan. Namun, kembali aku teringat kejadian 3 bulan yang lalu, ketika aku masih sms-an dengan mas ramah nan sabar, tiba-tiba seorang wanita menelfonku dan meminta maaf padaku bahwa dia telah mencintai mas ramah-ku, bahkan dia telah berpacaran dengan mas ramah, saat dimana aku tengah begitu merindukan mas ramah, ada wanita yang mengaku telah berpacaran dangan mas ramah, aku tak mengerti apa yang harus aku lakukan, begitu beratnya aku tak berpacaran disini tapi disana mas ramah punya wanita lain, begitu sulit dipercaya, bahkan orang di sekitarnya pun tak menyangka, dia adalah seseorang yang begitu baik dan penyayang, mana mungkin melakukan hal ini, dulu melihatku menangis saja dia tak berani kini apa yang telah dia lakukan seperti bukan perbuatannya, mungkin memang benar kata orang, orang itu bisa berubah kapan saja.
Aku mengerti, mungkin mas ramah kesepian, aku mengerti, aku tak akan membenci mu, mas ramah, engkau tetap mas ramah nan sabar-ku meski engkau telah jadi milik yang lain, cita-cita ku dulu ingin membangun rumah tangga dengan mas ramah, aku kuliah biar rumah tangganya mapan, tapi kini semua sudah hilang, dan aku rela melepas semua, meski sedikit dendam masih menyemat dalam dadaku, namun tak ada sedikitpun aku ingin membalas perbuatan mas ramah, satu kesalahan mu yang begitu berat tak akan membuat aku membencimu karena engkau mas ramah yang dulu selalu memberikan apa yang aku mau.
“Dewi nanti ikut halaqoh kan?”
“insya Allah mbak”
Mbak Dian, beliaulah yang selalu ada untuk ku, beliaulah yang menguatkan aku ketika mas ramah pergi, beliau mengajariku tantang arti hidup, bahwa hidup itu hanyalah menunggu mati, jadi apa yang bisa aku lakukan sebagai bekal aku mati, “untuk apa engkau menangisi perasaan mu sendiri?” begitu kata mbak Dian ketika mas ramah katakan putus padaku. Mbak Dian benar, aku menangis karena aku sakit, apa bedanya aku sekarang dengan aku ketika berumur 2 tahun, jika sedang sakit selalu menangis dan tak mau berbuat apa-apa. Mbak Dian seorang yang ramah dan sabar sepeti mas ramah nan sabar, keramahan dan kesabaran mbak Dian sering membuat ku rindu dengan mas ramah, namun dengan begitu, kata mbak Dian aku bisa belajar untuk tidak lagi merindukannya namun aku juga tak akan membencinya.
“mbak, untuk acara seminar ‘Beauty of Islam’ nanti pematerinya siapa?”
“rencananya ustadz Yusuf Mansur, dek”
“Wah.. itu kan yang biasa di televisi itu mbak, apa fee-nya nanti nggak terlalu mahal, mbak?”
“semakin bagus acaranya semakin tertarik juga perusahaan untuk menjadi sponsor, jadi nggak usah khawatir Allah Maha Kaya kok dek”
Yaa.. seperti inilah aku sekarang, aku sekarang adalah aktivis dakwah kampus yang tak boleh lagi berpacaran, harus rajin belajar, baca buku, kegiatannya merancang acara-acara dakwah, bahkan kerudungku sekarang sebesar ini, tak pernah aku menyangka sebelumnya, aku yang dulu sering mengolok-olok orang yang kerudungnya besar, aneh, kini aku sendiri yang memakainya, Alhamdulillah, Allah yang menunjukan jalan ini, membimbingku, menuntunku agar aku tetap kuat bertahan di jalan ini. Mungkin perjalanan aku dari desa pindah ke kota hingga perubahan mas ramah yang drastis itu adalah rangkaian takdir-Nya yang ingin menyelamatkan aku dari bahaya dunia akhirat, terasa begitu berat perjalanan itu namun ketika aku temukan cinta-Nya, semua terasa begitu indah.
“Dewi, kalau aku traktir kamu makan selama 1 minggu asalkan kamu nggak pake kerudung itu lagi, gimana?”
“Wah… aku sudah punya uang kok buat aku makan selama lebih dari 1 minggu, emang kenapa dengan kerudungku?”
“Aneh tau Dew, kamu tu dulu nggak kaya gitu, kamu udah nggak asik lagi tau, kamu nggak pernah lagi ikut jalan bareng, makan-makan bareng, karaokean bareng”
“aku minta maaf, bukankah kita udah belajar tentang perbedaan individu dan bagaimana seharusnya menyikapi individu yang berbeda-beda itu?, aku masih tetap teman mu, aku akan selalu berusaha ada untuk mu, tapi aku minta maaf karena aku tak lagi suka dengan karaokean, jalan-jalan ke mall”
“kenapa? Karena ngaji? Sholat? Aneh kamu sekarang!!”
Reza adalah cowok pertama kali yang aku kenal dikampus, cowok dikampus yang pertama kali bilang padaku kalau dia mau jadi teman ku, mau memberikan apa yang aku inginkan, dulu aku sempat hampir tergantung padanya, tapi karena mbak Dian aku bisa lepas darinya. Apapun yang Reza katakan, bagaimanapun keadaan ku, sikapnya selalu baik terhadap ku. Bagaimanapun juga Reza memang tetap temanku, meskipun aku kader dakwah dan dia bukan, itu bukan berarti tidak mungkin bagi aku dan dia untuk berteman, Reza adalah seseorang yang pernah selalu ada buat ku, menggantikan posisi mas ramah, dia memang cakep ‘baby face’ tipe ku banget, hmm.. tapi sayang dia tak mau bergabung dalam barisan ini, mungkin dia belum mendapatkan Hidayah, yaa semoga saja Allah segera membukakan pintu hatinya, amin…
“Dew, aku mau bicara berdua sama kamu”
“Kita kan lagi kuliah, Za”
“Kita bolos saja, aku nggak bisa lama-lama nyimpen ini sendirian”
“maksudnya??”
“makanya ayo keluar sekarang”
“nanti tasnya gimana?”
“ah.. ribet sih kamu, kan ada anak –anak lain”
“jangan, Za.. aku nggak mau bolos, maaf aku juga nggak bisa kalo ngomong cuma berdua”
“ahh… sudah lah, nanti aja kalau gitu”
__--__
“Dew, jangan pulang dulu, aku mau ngomong”
“iya, Za..”
Dulu, aku harus menangis karena aku harus meninggalkan mas ramah, kini apa aku harus menangis karena teman ku yang pernah menggantikan mas ramah akan pergi meninggalkan ku, bahkan dia tak mau katakan akan pergi kemana, kuliahnya pun ditinggal. Robb.. jika ini yang terbaik aku rela dan aku tak akan lagi menangis, jaga lah dia dimana pun dia berada, berikanlah Hidayah-Mu padanya, amin…
Berasa ada yang kurang hari-hari ku dikelas tanpa Reza, tapi dengan teman aktivis dan berbagai kegiatan dakwah tak kan membuat ku galau karna waktu ku terus berjalan terasa begitu cepat dengan berbagai agenda setiap harinya, hampir setiap malam tidak lebih dari jam 9 pasti sudah tidur karena kecapean, yah.. akhirnya tak sedikit pula tugas ku yang keteteran karena ngerjakannya tiap pagi doang, waktunya kurang keburu kuliah pagi, tapi ajaibnya kok tidak pernah ada masalah dengan kuliah ku, surat Muhammad ayat 7 selalu jadi alasan aku untuk bertahan dan aku membuktikannya sendiri, bahwa Dia yang paling menepati janji.
Waktu yang biasanya sunyi pagi ini tak lagi sunyi, jam 3 pagi perias sudah datang ke kos memenuhi undangan teman-temanku untuk meriasnya sebagai ‘putri sehari’ katanya, karena kalau ratu sehari itu menikah, kali ini mereka bukan menikah akan tetapi wisuda, hari yang telah mereka tunggu-tunggu sejak 4 tahun yang lalu.
Sepintas bayanganku kembali pada 4 tahun yang lalu, ketika mas ramah menghianati ku, hingga kepergian Reza yang sampai sekarang tidak pernah memberi kabar, ya Allah ampuni lah dosa mereka, meskipun mas ramah sempat menghianatiku namun kebaikannya padaku dulu tak sedikit. Ampunilah Reza, berilah dia Hidayah-Mu sesungguhnya dia bukanlah laki-laki yang suka merendahkan wanita.
Jam 12 siang acara wisuda selesai, saat-saat yang ditunggu yaitu makan-makan bersama keluarga yang telah lama tak jumpa karena jarak yang jauh antara desa tempat aku di besarkan dengan kota tempat aku menemukan Hidayah-Nya.
“Dewi, tadi ada perempuan mengaku namanya Dian memeberi mu surat, ini”. Kata ayah sambil menyodorkan sebuah amplop.
Aku terima surat itu dengan kerutan dahi, ‘ngapain juga mbak Dian ngrimin aku surat, kalau mau ngucapkan selamat kan bisa pas halaqoh, ah.. mbak ini ada-ada saja’ pikirku.
Segera saja aku buka surat itu…
“Kenapa senyam senyum?” goda ayah ku.
“Apa sih yah…”
Wah jangan-jangan ayah sama ibu sudah tahu isi surat ini, kenapa mereka senyam senyum ngeledek gitu sih..
“Wah.. anak ibu pipinya memerah, ada apa nih..”
“ibuu…. Apa loh… ibu ini..”
“eh, apa ya isi surat nya, ayah sama ibu boleh tahu ngak?”
Kemesraan dalam keluarga yang selalu kurindukan…
Bukan dia yang memilihku, bukan pula aku yang memilihnya, tapi Allah yang telah menyatukannya, harus dengan kata apa aku ungkapkan perasaan ku, apa aku juga harus istikharah untuk memutuskannya karena perasaan ini telah lama ada, meskipun pernah mati tapi setelah namanya muncul kembali perasaan ini pun kembali pula. Tak pernah aku sangka perginya itu ke pondok dan itu karena keinginannya sendiri setelah aku tak mau lagi jalan berdua dengannya.
Hari ini aku melihatnya berbeda dengan yang dulu, matanya telah menyipit, mungkin karena di sepertiga malamnya dia selalu terjaga dan pandangannya yang selalu di jaga, keningnya cukup tegas, mungkin karena ketawadhu’an dalam sujudnya, sinar wajahnya menenangkan.
“astaghfirllah.. dia belum mengucapkan akad, kenapa aku memandanginya begitu teliti..”
Aku tak dapat menyembunyikan rasa bahagiaku, aku tak bisa menahan senyum ini, hatiku berdebar mendengarnya mengucapkan kalimat akad. Humh…. Aku sudah resmi menjadi istrinya, seorang laki-laki pengganti mas ramah yang dulu, imam yang tak hanya dalam sholatku, namun dalam hidup ku, yang akan membimbingku untuk tetap meneruskan jalan ini hingga masing-masing dari kami menemui-Nya, Za.. aku tak pernah manyangka akan hal ini sebelumnya, semoga aku memang tercipta untuk menemanimu menuju kepada-Nya.
Banyak pelajar-pelajar desa pindah ke kota demi pendidikan, sebagian dari mereka mungkin menglami hal sama dengan ku, begitu berat meninggalkan keluarga dan orang-orang yang dikasihi, bahkan merasa seolah Tuhan tak adil memisahkan kemesraan yang telah terjalin lama, namun mereka belum tahu rencana indah apa yang sedang di tulis Tuhan untuk masa depannya, bahwa Dia-lah sebaik-baik sutradara dalam hidup ini.
Hmm… bagaimana kabarnya mas ramah ya, apa dia sudah menikah juga..
Langganan:
Postingan (Atom)