MYCERPEN
Belajar menulis CERPEN
RENCANA INDAH-NYA
Gimana
harus aku katakana padanya tentang semua rencana ayah ini nanti, apa aku
sanggup sendirian, aku tak biasa.. siapa yang akan menolong ku nanti jika aku
butuh apa-apa, terus siapa nanti yang akan membantunya melepas kelelahan ketika
dia pulang kerja, ya Tuhan mana mungkin aku mampu tanpa dia, tapi apa lagi yang
harus aku lakukan jika aku tak kuliah, haruskah aku memilih dia dari pada
kuliah sedangkan pekerjaan dia pun belum pasti, dia tak berani menikahiku,
bahkan dia bilang belum berfikir untuk menikah.
Mungkin memang lebih baik aku kuliah, pergi keluar kota, aku ingin
mencari kehidupan yang lebih baik supaya nanti rumah tangga ku dengannya bisa
mapan.
Minggu
siang, mas ramah nan sabar datang kerumah, aku sudah sangat merindukannya,
seminggu sudah tak jumpa, dia sering kali datang membawakan makanan atau barang
yang aku suka, dengan senyum manisnya ketika aku buka kan pintu, langsung aku
cium tangannya tanda aku begitu menyayanginya dan menghormatinya, meski tak
jarang aku dirumah hanya berdua dengannya, namun dia begitu menghormatiku, dia
tak akan berani berbuat macam-macam, apa lagi membuatku menangis. Aku ingin sekali buatkan minuman special
untuknya, namun dia selalu bilang, “dek, air putih lebih sehat kok..” begitu
dia mengatakannya dengan senyum tipisnya yang selalu membuat ku tak bisa marah
padanya, selalu membuatku menuruti apa yang dia mau, yaa.. dia memang mas ramah
nan sabar-ku yang selalu aku rindukan meski dia baru selangkah saja keluar dari
pintu rumah ku.
“ya
sudah air putih, dasar mas ini memang aneh, nggak suka minuman segar..”
Senyumnya…..
mambuatku tak mampu mengatakan rencana ayah-padanya, berat rasanya..
“dek,
kenapa diam?”
Ya
Tuhan… sampai kapan pun aku tak ingin dia melepaskan elusan tangannya dikepala
ku, aku ingin terus bersamanya, aku tak mampu menahan air mata ku, dada ku
terasa begitu sesak, mampukah aku meninggalkannya sendirian di desa, siapa
nanti yang akan mengelus kepala ku seperti ini, siapa nanti yang akan dia
hampiri setiap minggu ketika dari senin hingga sabtu dia lelah bekerja.
“lho,
dek, kenapa menangis?.. mas salah apa?”
Aku
tak mampu bicara, aku hanya ingin terus bersamanya, aku ingin selalu berasa
dalam peluknya, aku tak perduli dengan kausnya yang basah karena air mataku,
aku tak peduli dengan warna merah tangannya yang aku genggam dengan kuat karena
aku tak mampu lagi menahan sesak dalam dadaku, ini begitu berat bagiku Tuhan..
“katakan
sama mas, apa yang terjadi, dek?”
Matanya
yang berbinar tepat berada didepan mataku, tangannya yang kasar dengan halus menyentuh
pipiku, bibirnya yang kecil bergetar takut melihat ku menangis. Bagaimanapun caranya, aku harus mengatakan
semuanya.
“mas,
kata ayah, aku harus kuliah diluar kota”
Dengan
cepat dia melepaskan tangannya yang tadi memegang pipiku, dia berbalik tak lagi
memandang ku, dia menunduk, mungkinkah mas ramah sedang manangis.
“bukankah
kota dekat sini juga ada kampus, kenapa harus ke luar kota, dek?”
“maafkan
aku mas, ayah nggak mampu membiayai kuliah ku di kota ini, kampus di kota ini
terlalu mahal bagi ayah”
“ya
sudah kalo itu memang keputusan ayahmu, mas nggak bisa ngapa-ngapain lagi,
pendapatan mas juga nggak cukup untuk membantumu kuliah, maafkan mas yang nggak
berguna”
“ya
nggak gitu mas…tapi mas nanti tiap minggu, siapa yang akan mijitin mas, becanda
dengan mas untuk melepas lelah..”
“nggak
usah khawatir dek, mas akan setia menunggu mu”
“benar,
mas?”
Cukup
dengan senyumnya, aku percaya bahwa dia tidak akan menghianati ku..
Lusa
aku harus sudah mulai kuliah jadi besok aku harus berangkat keluar kota,
rasanya tak ingin sama sekali berpisah dengan keluarga, dengan mas ramah, dan
tetangga-tetangga yang selalu ramah terhadapku, apa nanti disana aku juga akan
mendapatkan tetangga-tetangga yang baik seperti disini, nanti disana bagaimana
aku harus cari makan, bagaimana jika aku bosan dirumah, apa mungkin nanti ada
teman yang menemaniku jalan-jalan seperti mas ramah biasanya. Andai ayah tau,
sebenarnya aku takut pergi jauh sendirian, apa mungkin ayah nggak pernah
berfikir aku akan kenapa-kenapa disana dan tidak ada yang menolong ku, hmh… aku
nggak mengerti jalan fikiran ayah.
“dek,
apa dek Dewi nanti akan cari pacar baru setelah disana?”
“hmm..
mas nggak usah khawatir, bukannya mas sendiri sudah tahu bagaimana sifat ku”
“mas,
itu busnya sudah datang”
Mas
ramah nan sabar yang membawakan koperku, ayah dan ibu yang yang membawakan
bekalku, oh Tuhan.. apakah diluar kota nanti aku akan bersama orang-orang baik
seperti mereka. Aku tak mampu menahan
air mataku, aku peluk ibu, ayah dan aku cium tangan mas ramah, Tuhan….
Sayangilah mereka, jagalah mereka ketika aku tak bersama mereka.
1
tahun sudah aku kuliah, Alhamdulillah aku menemukan banyak orang-orang luar
biasa disini, mereka tak seperti apa yang aku takutkan dulu, mereka baik,
mereka pintar, mereka siap membantu ku kapanpun, mereka siap mendengar apapun
yang ingin aku katakan. Namun, kembali
aku teringat kejadian 3 bulan yang lalu, ketika aku masih sms-an dengan mas
ramah nan sabar, tiba-tiba seorang wanita menelfonku dan meminta maaf padaku
bahwa dia telah mencintai mas ramah-ku, bahkan dia telah berpacaran dengan mas
ramah, saat dimana aku tengah begitu merindukan mas ramah, ada wanita yang
mengaku telah berpacaran dangan mas ramah, aku tak mengerti apa yang harus aku
lakukan, begitu beratnya aku tak berpacaran disini tapi disana mas ramah punya
wanita lain, begitu sulit dipercaya, bahkan orang di sekitarnya pun tak
menyangka, dia adalah seseorang yang begitu baik dan penyayang, mana mungkin
melakukan hal ini, dulu melihatku menangis saja dia tak berani kini apa yang
telah dia lakukan seperti bukan perbuatannya, mungkin memang benar kata orang,
orang itu bisa berubah kapan saja.
Aku
mengerti, mungkin mas ramah kesepian, aku mengerti, aku tak akan membenci mu,
mas ramah, engkau tetap mas ramah nan sabar-ku meski engkau telah jadi milik
yang lain, cita-cita ku dulu ingin membangun rumah tangga dengan mas ramah, aku
kuliah biar rumah tangganya mapan, tapi kini semua sudah hilang, dan aku rela
melepas semua, meski sedikit dendam masih menyemat dalam dadaku, namun tak ada
sedikitpun aku ingin membalas perbuatan mas ramah, satu kesalahan mu yang
begitu berat tak akan membuat aku membencimu karena engkau mas ramah yang dulu
selalu memberikan apa yang aku mau.
“Dewi
nanti ikut halaqoh kan?”
“insya
Allah mbak”
Mbak
Dian, beliaulah yang selalu ada untuk ku, beliaulah yang menguatkan aku ketika
mas ramah pergi, beliau mengajariku tantang arti hidup, bahwa hidup itu hanyalah
menunggu mati, jadi apa yang bisa aku lakukan sebagai bekal aku mati, “untuk
apa engkau menangisi perasaan mu sendiri?” begitu kata mbak Dian ketika mas
ramah katakan putus padaku. Mbak Dian
benar, aku menangis karena aku sakit, apa bedanya aku sekarang dengan aku
ketika berumur 2 tahun, jika sedang sakit selalu menangis dan tak mau berbuat
apa-apa. Mbak Dian seorang yang ramah dan sabar sepeti mas ramah nan sabar,
keramahan dan kesabaran mbak Dian sering membuat ku rindu dengan mas ramah,
namun dengan begitu, kata mbak Dian aku bisa belajar untuk tidak lagi
merindukannya namun aku juga tak akan membencinya.
“mbak,
untuk acara seminar ‘Beauty of Islam’
nanti pematerinya siapa?”
“rencananya
ustadz Yusuf Mansur, dek”
“Wah..
itu kan yang biasa di televisi itu mbak, apa fee-nya nanti nggak terlalu mahal,
mbak?”
“semakin
bagus acaranya semakin tertarik juga perusahaan untuk menjadi sponsor, jadi
nggak usah khawatir Allah Maha Kaya kok dek”
Yaa..
seperti inilah aku sekarang, aku sekarang adalah aktivis dakwah kampus yang tak
boleh lagi berpacaran, harus rajin belajar, baca buku, kegiatannya merancang
acara-acara dakwah, bahkan kerudungku sekarang sebesar ini, tak pernah aku
menyangka sebelumnya, aku yang dulu sering mengolok-olok orang yang kerudungnya
besar, aneh, kini aku sendiri yang memakainya, Alhamdulillah, Allah yang
menunjukan jalan ini, membimbingku, menuntunku agar aku tetap kuat bertahan di
jalan ini. Mungkin perjalanan aku dari desa pindah ke kota hingga perubahan mas
ramah yang drastis itu adalah rangkaian takdir-Nya yang ingin menyelamatkan aku
dari bahaya dunia akhirat, terasa begitu berat perjalanan itu namun ketika aku
temukan cinta-Nya, semua terasa begitu indah.
“Dewi,
kalau aku traktir kamu makan selama 1 minggu asalkan kamu nggak pake kerudung
itu lagi, gimana?”
“Wah…
aku sudah punya uang kok buat aku makan selama lebih dari 1 minggu, emang
kenapa dengan kerudungku?”
“Aneh
tau Dew, kamu tu dulu nggak kaya gitu, kamu udah nggak asik lagi tau, kamu
nggak pernah lagi ikut jalan bareng, makan-makan bareng, karaokean bareng”
“aku
minta maaf, bukankah kita udah belajar tentang perbedaan individu dan bagaimana
seharusnya menyikapi individu yang berbeda-beda itu?, aku masih tetap teman mu,
aku akan selalu berusaha ada untuk mu, tapi aku minta maaf karena aku tak lagi
suka dengan karaokean, jalan-jalan ke mall”
“kenapa?
Karena ngaji? Sholat? Aneh kamu sekarang!!”
Reza
adalah cowok pertama kali yang aku kenal dikampus, cowok dikampus yang pertama
kali bilang padaku kalau dia mau jadi teman ku, mau memberikan apa yang aku
inginkan, dulu aku sempat hampir tergantung padanya, tapi karena mbak Dian aku
bisa lepas darinya. Apapun yang Reza
katakan, bagaimanapun keadaan ku, sikapnya selalu baik terhadap ku. Bagaimanapun juga Reza memang tetap temanku, meskipun
aku kader dakwah dan dia bukan, itu bukan berarti tidak mungkin bagi aku dan
dia untuk berteman, Reza adalah seseorang yang pernah selalu ada buat ku,
menggantikan posisi mas ramah, dia memang cakep ‘baby face’ tipe ku banget,
hmm.. tapi sayang dia tak mau bergabung dalam barisan ini, mungkin dia belum
mendapatkan Hidayah, yaa semoga saja Allah segera membukakan pintu hatinya,
amin…
“Dew,
aku mau bicara berdua sama kamu”
“Kita
kan lagi kuliah, Za”
“Kita
bolos saja, aku nggak bisa lama-lama nyimpen ini sendirian”
“maksudnya??”
“makanya
ayo keluar sekarang”
“nanti
tasnya gimana?”
“ah..
ribet sih kamu, kan ada anak –anak lain”
“jangan,
Za.. aku nggak mau bolos, maaf aku juga nggak bisa kalo ngomong cuma berdua”
“ahh…
sudah lah, nanti aja kalau gitu”
__--__
“Dew,
jangan pulang dulu, aku mau ngomong”
“iya,
Za..”
Dulu,
aku harus menangis karena aku harus meninggalkan mas ramah, kini apa aku harus
menangis karena teman ku yang pernah menggantikan mas ramah akan pergi
meninggalkan ku, bahkan dia tak mau katakan akan pergi kemana, kuliahnya pun
ditinggal. Robb.. jika ini yang terbaik aku rela dan aku
tak akan lagi menangis, jaga lah dia dimana pun dia berada, berikanlah
Hidayah-Mu padanya, amin…
Berasa
ada yang kurang hari-hari ku dikelas tanpa Reza, tapi dengan teman aktivis dan
berbagai kegiatan dakwah tak kan membuat ku galau karna waktu ku terus berjalan
terasa begitu cepat dengan berbagai agenda setiap harinya, hampir setiap malam
tidak lebih dari jam 9 pasti sudah tidur karena kecapean, yah.. akhirnya tak
sedikit pula tugas ku yang keteteran karena ngerjakannya tiap pagi doang,
waktunya kurang keburu kuliah pagi, tapi ajaibnya kok tidak pernah ada masalah
dengan kuliah ku, surat Muhammad ayat 7 selalu jadi alasan aku untuk bertahan
dan aku membuktikannya sendiri, bahwa Dia yang paling menepati janji.
Waktu
yang biasanya sunyi pagi ini tak lagi sunyi, jam 3 pagi perias sudah datang ke kos
memenuhi undangan teman-temanku untuk meriasnya sebagai ‘putri sehari’ katanya,
karena kalau ratu sehari itu menikah, kali ini mereka bukan menikah akan tetapi
wisuda, hari yang telah mereka tunggu-tunggu sejak 4 tahun yang lalu.
Sepintas
bayanganku kembali pada 4 tahun yang lalu, ketika mas ramah menghianati ku,
hingga kepergian Reza yang sampai sekarang tidak pernah memberi kabar, ya Allah
ampuni lah dosa mereka, meskipun mas ramah sempat menghianatiku namun
kebaikannya padaku dulu tak sedikit. Ampunilah Reza, berilah dia Hidayah-Mu
sesungguhnya dia bukanlah laki-laki yang suka merendahkan wanita.
Jam
12 siang acara wisuda selesai, saat-saat yang ditunggu yaitu makan-makan
bersama keluarga yang telah lama tak jumpa karena jarak yang jauh antara desa tempat aku di
besarkan dengan kota tempat aku menemukan Hidayah-Nya.
“Dewi,
tadi ada perempuan mengaku namanya Dian memeberi mu surat, ini”. Kata ayah
sambil menyodorkan sebuah amplop.
Aku
terima surat itu dengan kerutan dahi, ‘ngapain juga mbak Dian ngrimin aku
surat, kalau mau ngucapkan selamat kan bisa pas halaqoh, ah.. mbak ini ada-ada
saja’ pikirku.
Segera
saja aku buka surat itu…
“Kenapa
senyam senyum?” goda ayah ku.
“Apa
sih yah…”
Wah
jangan-jangan ayah sama ibu sudah tahu isi surat ini, kenapa mereka senyam
senyum ngeledek gitu sih..
“Wah..
anak ibu pipinya memerah, ada apa nih..”
“ibuu….
Apa loh… ibu ini..”
“eh,
apa ya isi surat nya, ayah sama ibu boleh tahu ngak?”
Kemesraan
dalam keluarga yang selalu kurindukan…
Bukan
dia yang memilihku, bukan pula aku yang memilihnya, tapi Allah yang telah
menyatukannya, harus dengan kata apa aku ungkapkan perasaan ku, apa aku juga
harus istikharah untuk memutuskannya karena perasaan ini telah lama ada,
meskipun pernah mati tapi setelah namanya muncul kembali perasaan ini pun
kembali pula. Tak pernah aku sangka
perginya itu ke pondok dan itu karena keinginannya sendiri setelah aku tak mau
lagi jalan berdua dengannya.
Hari
ini aku melihatnya berbeda dengan yang dulu, matanya telah menyipit, mungkin
karena di sepertiga malamnya dia selalu terjaga dan pandangannya yang selalu di
jaga, keningnya cukup tegas, mungkin karena ketawadhu’an dalam sujudnya, sinar
wajahnya menenangkan.
“astaghfirllah..
dia belum mengucapkan akad, kenapa aku memandanginya begitu teliti..”
Aku
tak dapat menyembunyikan rasa bahagiaku, aku tak bisa menahan senyum ini,
hatiku berdebar mendengarnya mengucapkan kalimat akad. Humh…. Aku sudah resmi menjadi istrinya,
seorang laki-laki pengganti mas ramah yang dulu, imam yang tak hanya dalam
sholatku, namun dalam hidup ku, yang akan membimbingku untuk tetap meneruskan
jalan ini hingga masing-masing dari kami menemui-Nya, Za.. aku tak pernah
manyangka akan hal ini sebelumnya, semoga aku memang tercipta untuk menemanimu
menuju kepada-Nya.
Banyak
pelajar-pelajar desa pindah ke kota demi pendidikan, sebagian dari mereka
mungkin menglami hal sama dengan ku, begitu berat meninggalkan keluarga dan
orang-orang yang dikasihi, bahkan merasa seolah Tuhan tak adil memisahkan
kemesraan yang telah terjalin lama, namun mereka belum tahu rencana indah apa
yang sedang di tulis Tuhan untuk masa depannya, bahwa Dia-lah sebaik-baik
sutradara dalam hidup ini.
Hmm…
bagaimana kabarnya mas ramah ya, apa dia sudah menikah juga..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar